Budaya Risiko di BPR

Bank sebagai bisnis kepercayaan sangat sarat dengan berbagai regulasi, namun regulasi tersebut semata-mata adalah untuk menjaga agar Bank tetap mampu menjaga trust kepada stakeholder.

Ya.. dengan modal kepercayaan, Bank akan lebih eksis dan mampu untuk survival dan sekaligus mampu tumbuh dengan sehat.

Salah satu yang harus di terapkan dalam menjaga reputasi dan trust masyarakat adalah dengan penerapan manajemen risiko.

Sebagai lembaga bisnis , tentunya Bank juga menghadapi ketidakpastian dalam usahanya karena berbagai factor. Baik factor dari dalam maupun factor dari luar Bank. Ketidakpastian bisnis akan menimbulkan risiko. Untuk itulah OJK melalui POJK No. 13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko di BPR dan BPRS, mewajibkan Bank untuk menerapkan manajemen risiko di banknya.

Selanjutnya  regulator mengatur mengenai operasional penerapan manajemen risiko tersebut dengan mengeluarkan SEOJK No. 1/SEOJK.03/2019 tentang Penerapan Manajemen Risiko di BPR dan BPRS.

Sehingga kita insan BPR wajib bersyukur dan terima kasih kepada OJK yang telah memberikan gaiden/acuan mengenai bagaimana menerapkan manajemen risiko di Bank.

Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk melakukan identifikasi, mengukur, pemantauan dan pengendalian risiko yang muncul disetiap kegiatan usaha BPR.

Harapan dari penerapan menajemen risiko ini, maka semua eksposure risiko disetiap usaha, produk dan kegiatan aktifitas BPR dapat diidentifkasi dan sekaligus dapat dimitasi untuk mengurangi kerugian.

Ada 6 jenis risiko yang harus di terapkan dan dikelola oleh BPR, Antara lain risiko kredit, risiko operasional, risiko kepatuhan, risiko likwiditas, risiko reputasi dan risiko strategik.

Penerapan di BPR dikondisikan sesuai dengan Jumlah Assets, Modal Inti, Jumlah Jaringan Kantor dan Informasi Teknologinya.

BPR Catur Artha Jaya sebagai salah satu lembaga perbankkan yang berlokasi di Kudus, juga menerapkan manajemen risiko di semua kegiatan usahanya, sesuai dengan ketentuan dari OJK.

4 aspek yang wajib di lakukan dalam penerapan kualitas penerapan manajemen risiko, Antara lain : Pengawasan Aktif Direksi dan Dewan Komisaris, Kecukupan Pedoman Kebijakan, Prosedure dan Limit risiko, Proses Manajemen Risiko dan Sistem Informasi Manajemen Risiko dan yang ke empat adalah Pengendalian Risiko Intern secara menyeluruh di BPR.

Manajemen dalam hal ini Direksi dan Dewan Komisaris harus paham risiko-risiko yang ada di dalam semua aktifitas usaha BPR dan sekaligus mampu memitigasinya untuk menghindari kerugian.

Direksi mempunya kewenangan untuk membentuk satuan kerja maupun mengangkat Pejabat Eksekutif Manajemen Risiko, yang bertugas untuk menjalankan penerapan manajemen risiko di BPR.

Komisaris mempunyai wewenang untuk mengawasi, mengevaluasi dan memberikan saran-saran kepada Direksi atas penerapan manajemen risiko di BPR.

Pedoman kebijakan dan procedure manajemen risiko yang telah disetujui Direksi dan Dewan Komisaris selanjunya dijadikan acuan. Kebijakan ini setiap waktu dievaluasi disesuikan dengan kondisi usaha, kompleksitas dan skala usaha BPR.

Dari semua eksposure risiko yang melekat pada semua jenis risiko, BPR wajib menetapkan jenis dan tingkat risiko yang mampu diambil (risk appetite) , sekaligus menetapkan limit risiko dan toleransinya (risk toleransi).

Menjadi Tugas Direksi untuk selalu mengkomunikasikan dan mensosialisasikan semua kebijakan dan procedure serta limit risiko disetiap unit usahanya kepada semua pegawai. Agar pegawai paham dan mengerti eksposure risiko yang muncul di setiap unit usahanya.

Sehingga semua pegawai mempunyai perilaku dan persepsi dalam menjalankan operasional BPR yang ditunjukkan dengan respond dan tindakan yang efektif untuk meminimalisasi segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan kerugian.

Perlu dibangun budaya risiko di BPR, dan menjadikan budaya kerja BPR yang peka dan peduli terhadap risiko dan tindakan penanganannya yang terefleksi dalam pengambilan keputusan dan cara melakukan pekerjaan.

Dari tindakan-tindakan yang dilakukan akan menjadikan kebiasaan dan outcamenya akan menjadi budaya. Demikian dalam upaya pembetukan budaya risiko di BPR, pertama perlu dipaksakan, selanjutnya terus dilakukan walaupun terpaksa maka lama-lama menjadi biasa, dan bila kebiasaan respon dan tindakan meminimalkan segala risiko akan secara reflek menjadi budaya manajemen risiko.

Tahapan dalam membangun budaya risiko (risk culture) Antara lain (sumber : Creva Busines Consulting)

  1. Komitmen pimpinan menciptakan irama yang sama (tone at the top)
  2. Edukasi kepada para pemangku kepentingan (stakeholder)
  3. Berbagi pengetahuan (knowledge sharing)
  4. Kominikasi yang konsisten tentang pentingnya manajemen risiko.
  5. Sosialisasi dan implementasikan manajemen risiko dalam operasional sehari-hari.

Satuan Kerja atau pejabat eksekutif manajemen risiko (PEMR) harus independent dengan unit usaha BPR, selain mengusulkan kebijakan PEMR  wajib menjalankan dan sekaligus memantau pelaksanaan penerapan manajemen risiko di BPR.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *